Minggu, 14 April 2013

Terperosok Prostitusi di Arab Saudi



Cover Gatra Edisi 33/2003 (GATRA/Enggar Yuwono)CERITA seram tentang nasib perempuan asing di Arab Saudi kerap jadi oleh-oleh jemaah haji Indonesia. Kisahnya cukup membikin bergidik handai tolan di kampung. ''Katanya ada perempuan dilarikan sopir taksi di hadapan suaminya. Sampai kini tak ketahuan nasibnya,'' begitu bunyi satu cerita, yang tambah seram dibumbui ekspresi takjub penuturnya.

Cerita berikutnya, ada jemaah haji wanita diperkosa dan dibunuh di kamar mandi. Pelakunya, menurut cerita tadi, diperkirakan lelaki Arab yang mengenakan abaya (jubah penutup seluruh tubuh) perempuan. Tapi, ada cerita lain yang tak kalah mencengangkan: ''Jemaah haji ternyata sering ditawari berkencan dengan perempuan nakal asal Indonesia''. Busyet!

Kabar burung tentang perempuan diculik sopir taksi, atau diperkosa dan dibunuh di kamar mandi, mungkin saja isapan jempol. Setidaknya, bisa dipastikan kisah itu tak menimpa jemaah haji Indonesia. Lucunya, cerita itu yang biasanya justru dipercaya.

Tapi terhadap cerita praktek prostitusi, tidak sedikit yang membelalakkan mata: apa iya ada pelacuran di sana, melibatkan orang Indonesia pula? Maklum, Arab Saudi kadung diidentikkan tempat suci. Lagi pula, negeri minyak itu menerapkan hukuman keras bagi pelaku perzinahan: bisa dirajam! Siapa yang berani coba-coba?

Logikanya memang begitu. Faktanya, prostitusi yang melibatkan perempuan Indonesia meruyak di sana. Sebagian saudara kita yang malang itu terbukti digaruk polisi setempat. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwa Wea, menyebutkan, 118 wanita Indonesia ditahan di penjara atas sangkaan prostitusi. Ikut ditahan, tiga mucikari, juga orang Indonesia. Mereka terjaring razia sejak tahun lalu. ''Sangat memalukan,'' kata Jacob kepada Rini Anggraini dari GATRA .

Laporan Utama: Praktek pelacuran merambah pula ke Mekah dan Madinah. Kaki tangan germo, biasanya lelaki Indonesia, Pakistan atau Bangladesh, tak segan menawarkan jasa perempuan pemuas syahwat asal Nusantara. Seorang jemaah haji Indonesia menuturkan, saat di Mekah, ia sempat ditawari jasa itu, namun ditampiknya. ''Tadinya saya tidak percaya,'' katanya, masygul.

Diperkirakan, sedikitnya ratusan perempuan Indonesia terjebak menjadi budak pemuas nafsu kaum lelaki di sana. Kaum hawa itu berusia 20-30 tahun. Ada pula pelacur dari Filipina, Afrika, Syria, Lebanon dan Yordania. Disinyalir, praktek pelacuran ini mulai marak sejak beberapa puluh tahun silam. Ketika itu Saudi mengimpor tenaga kerja besar-besaran, termasuk dari Indonesia.

Pelacur Indonesia sangat mencolok karena paling banyak dan berkelas jalanan. Sebagian besar gentayangan di Jedah, kota industri dan perdagangan yang lebih bebas di banding kota-kota lain di Saudi. Dari sekitar 1,6 juta penduduknya, seperempatnya ekspatriat mancanegara. Terbanyak berasal dari Indonesia, Filipina, Pakistan, dan India.

Tidak sulit mengintip aksi mesum perempuan Indonesia, khususnya di Jedah. Wartawan GATRA melaporkan, mereka biasanya mejeng di banyak tempat, di antaranya di sekitar toko Bandung atau Restoran Bali di distrik Syarafiyyah. Para perempuan itu nongol pukul 23.00 menumpang taksi. Mereka mengenakan abaya dan kerudung, namun dibiarkan agak terbuka menampakkan kepala, rambut, dan leher.

Menurut Mamad, sebut saja begitu, sopir taksi asal Indonesia di Jedah, abaya dan kerudung terbuka merupakan isyarat tambahan bahwa si perempuan bisa diajak bermesum. Konon, warga Arab sudah ser-seran dibuatnya. Maklumlah, hal-hal yang langka memang lebih mengundang rasa ser-seran. Maraknya peredaran gelap VCD porno juga jadi pendongkrak syahwat.

Para pramusyahwat tadi tak perlu mejeng lama-lama. Sejurus berselang, biasanya satu per satu dijemput lelaki hidung belang, menggunakan taksi atau mobil pribadi. Ke mana mereka bergelut? Kalau si hidung belangnya Arab, biasanya ''main'' di hotel. Mereka jelas berduit, meski tak royal.

Bila si lelaki orang Pakistan atau Bangladesh, pasangan mesum itu biasanya melepas hajat di imarah alias apartemen, mirip rumah susun. Imarah tadi bisa tempat tinggal lelaki hidung belang bersangkutan, bisa pula hunian temannya. Si hidung belang ini umumnya sopir taksi atau pekerja kasar.

Toko Bandung (GATRA/Abdullah)Di sana, menyelundupkan wanita bukan muhrim ke imarah sudah jadi perkara mudah. Peraturan pemerintah setempat yang mensyaratkan penyewaan apartemen harus dengan bukti ailah atawa surat keluarga, tidak berlaku ketat. Di samping itu, pemilik imarah juga jarang mengontrol. Jadilah pasangan-pasangan itu bercinta sesukanya tanpa risih atau waswas.

Berapa harga keringat pramunikmat tadi? Pelanggan boleh beda, tapi bayarannya nyaris selalu sama. Untuk kencan singkat, rata-rata syarmuth Indonesia itu cuma dibayar 50 riyal, atau sekitar Rp 150.000. Bayaran ini jauh lebih rendah dibanding pelacur Filipina, yang meski sama-sama kelas jalanan, bayarannya mencapai 200 riyal. Dijajarkan dengan bayaran pelacur Arab yang 500 riyal sekali kencan singkat, nilai cewek kita makin melorot.

Syarmuth Indonesia juga sering dipesan semalaman. Tarifnya 200 riyal. Celakanya, sering digambreng oleh empat lelaki, yang masing-masing membayar cuma 50 riyal. ''Itulah liciknya warga Arab,'' ujar seorang sopir taksi yang tahu banyak perihal prostitusi. Herannya, cewek Indonesia jarang protes.

Memang, ada kalanya syarmuth Indonesia mendapat pelanggan Arab cukup royal yang mau membayar 100 riyal atau lebih. Itu bila perempuannya cantik dan pandai merayu. Bagi syarmuth, bayaran ini jelas jauh menggiurkan dibanding menjadi pembantu rumah tangga yang bergaji 400-600 riyal sebulan penuh.

Apa boleh buat, pelacur Indonesia di sana telanjur dikenal sebagai barang murahan. Sampai-sampai melekat julukan melecehkan: abu khomsin. Dalam bahasa Arab artinya barang seharga 50 riyal. Dibandingkan dengan harga sebuah jam tangan biasa, ia cuma bernilai seperempatnya. Kalau dipadankan dengan kudapan di sana, si ''abu khomsin'' hanya setara lima mangkok bakso.

Flat di Distrik Bawadi Jeddah (GATRA/Abdullah)Tidak jarang, lelaki hidung belang memanggil syarmuth Indonesia sebagai siti rohmah. Sepintas, kedengaran indah, karena berarti wanita pemberi kasih sayang. Namun, panggilan itu diucapkan dengan cibiran dalam nada dan makna berkonotasi syahwat. Menyedihkan.

Sudah begitu, mereka kerap pula dicemooh pelanggan, menyangkut --maaf-- servis di kasur. ''Barang wanita Indonesia kecil, permainannya pelan,'' begitu komentar seorang sopir taksi dari Bangladesh kepada GATRA, sambil mencibir. Padahal, menurut seorang syarmuth asal Jawa Barat, sebut saja Yuyun, setiap kali kencan, mereka berupaya maksimal mengimbangi pasangannya.

Namun Yuyun mengakui, orang Arab, India atau Bangladesh bertenaga besar. Soal daya tahan? ''Ah, sama saja dengan orang kita, ada yang lama, ada sebentar,'' kata Yuyun, mesam-mesem. Perempuan 23 tahun ini mengaku baru beberapa bulan melacur setelah kabur dari majikannya di Mekah. Katanya sih, ia belum lama menjadi pembantu rumah tangga di sana. Ia kabur atas bantuan sopir taksi orang Indonesia, yang belakangan justru menjerumuskannya ke dunia prostitusi. Sayang ia tidak mau cerita lebih banyak.

Menurut keterangan yang dikumpulkan GATRA , tenaga kerja wanita (TKW) yang kabur dari tempat majikannya sangat berpotensi menjadi pelacur. Soalnya, si ''dewa penolong'' lebih sering kawanan kaki tangan mucikari. ''Ada semacam sindikatnya,'' kata Abdul Wahid Maktub, mantan Konsulat Jenderal RI di Jedah tahun 2001-2002.

Kawanan sindikat itu biasanya sudah mengincar mangsanya sejak tiba di Kedutaan Besar RI atau kantor konsulat di Arab Saudi. Kawanan ini dengan mudah memperoleh nomor kontak dan alamat calon majikan si TKW. Beberapa waktu berselang, si TKW dikontak, ditanyakan bagaimana keadaannya. Jika TKW tidak betah-bisa lantaran disiksa, gaji tidak dibayar, atau mengalami pelecehan seksual-- ia dibujuk agar kabur. Si TKW percaya karena merasa sesama orang Indonesia.

TKW Siap Berangkat di Cengkareng (GATRA/Wisnu Prabowo)Lalu diaturlah agar TKW membuang sampah, atau berbelanja. Kemudian dijemput mobil. Pakaian abaya memungkinkan si TKW berlagak sebagai muhrim sang penjemput. TKW pelarian tadi dibawa ke penampungan milik mucikari. Biasanya berupa apartemen, atau gedung bekas hotel yang disewa bulanan. ''Hampir di tiap kota di Saudi ada penampungan ini,'' kata Wahyu Susilo, Sekretaris Eksekutif Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, kepada Rury Feriana dari GATRA.

Menurut penuturan Syafril Syafei, seorang sopir yang pernah bekerja di Mekah kepada Yohansyah dari GATRA, dari penampungan itulah para TKW pelarian tadi dijerumuskan ke dunia prostitusi. Mereka tak berdaya. Sudah tak ada uang, surat identitas tercecer pula. Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang mengirimnya juga tak mau tahu lagi.

Modus seperti ini berlaku pula bagi TKW yang datang dengan visa umroh. Atau, para TKW yang nekat kabur begitu saja dari majikannya. Mereka luntang-lantung di negeri orang, dan akhirnya jatuh ke tangan germo. Sebagian di antaranya memang pernah menjadi perek di Tanah Air. Walhasil mereka gampang nyemplung lagi ke praktek nista itu.

Awalnya, para TKW pelarian menjadi simpanan sopir penolongnya. Ada yang dinikahi secara sirri, ada pula yang ''ditancap'' begitu saja. ''Setelah kenyang, dijual ke temannya dengan bayaran 50 riyal sekali pakai,'' kata Ustadz Fudoili, aktivis Partai Keadilan Arab Saudi, yang banyak memantau masalah pelacuran ini.

Belakangan, sebagian syarmuth itu lebih suka memilih pelanggan mukimin (orang asing yang menetap di Arab) non-Indonesia. ''Sekarang, kalau (main) dengan orang Indonesia saya malu,'' kata Lulu, nama samaran pelacur asal Kalimantan.

Aktivitas esek-esek yang ini memang diatur cukup rapi. Umumnya mucikari melayani pesanan lewat telepon selular (ponsel). Pelanggan cukup mengirim SMS, syarmuth diantarkan sopir taksi yang dipercaya mucikari. Tempat ''penjajakan'' dilakukan di pasar swalayan atau di rumah sakit. Bila cocok, pasangan itu segera menuju apartemen atau hotel.

Tapi, tidak sedikit dijumpai syarmuth Indonesia yang beroperasi sendiri. Para wanita penghibur ini menggunakan beberapa trik. Bisa dengan menyebar nomor ponselnya, atau kadang mejeng langsung. Di Madinah, misalnya, mereka berkeliaran di warung dan pertokoan dengan menyematkan pita kecil berwarna merah di pundaknya.

Penjara Briman (GATRA/Abdullah)Lelaki hidung belang biasanya mahfum. Kalau syur, ia langsung menggandeng si wanita. Selanjutnya terserah mereka. Kadang, justru si lelaki yang aktif memberi sinyal bahwa ia butuh cewek. Caranya, berjalan bolak-balik sembari memainkan jari tangan.

Acap lelaki Arab kelewat agresif. Mengira setiap perempuan Indonesia adalah perek, hingga main sosor sembarangan. Kontributor GATRA Abdullah dan Wahid di Saudi melaporkan, di keramaian sering terlihat lelaki Arab mengejar setiap perempuan Indonesia sembari menyodorkan nomor ponselnya. Maksudnya, minta dihubungi guna mengatur kencan. ''Akibatnya, sering kejadian saling hardik,'' tutur H. Abdullah Umar, staf Konjen RI di Jedah.

Sebetulnya, praktek prostitusi ini sudah lama dan jadi rahasia umum di Saudi. ''Kami sudah tahu sejak 1980-an. Di Mekah, pelacurnya orang kita semua,'' kata Ustadz Habib Muhammad Rizieq, Ketua Umum Front Pembela Islam, kepada Luqman Hakim Arifin dari GATRA. Gusar dia.

Herannya, selama ini jarang ada razia oleh polisi setempat. Kabarnya, polisi kesulitan menangkap pelaku zina yang kerap berlindung dibalik ''ayat'' perkawinan sirri. Rumor lain yang belum dikonfirmasi, polisi main mata dengan pelaku prostitusi, termasuk mendapat jatah ''dilayani''.

Entah kenapa, baru setahun lalu kepolisian getol merazia. Ratusan mukimin Indonesia kena garuk. Sebagian karena tidak punya dokumen keimigrasian lengkap, sebagian lagi -118 wanita plus tiga pria-- disangka terkait prostitusi. Ada yang malah tertangkap basah bermesum. Harian Okaz yang terbit di Jedah, Februari silam melaporkan perihal seorang wanita Indonesia digrebek sedang bermesraan dengan lelaki Thailand di Mekah.

Kini para tersangka meringkuk di penjara briman, Saudi. Menteri Jakob Nuwa Wea telah meminta bantuan KBRI di Riyadh untuk membantu penyelesaian kasus itu. Namun, sejauh ini pihak KBRI baru mengirim penerjemah. Bantuan hukum belum diupayakan kongkrit.

Suasana Tempat Penampungan TKI di Jeddah (Dok. GATRA/Mauludin Anwar)Terkuaknya kasus prostitusi ini kembali menunjukkan amburadulnya nasib TKW di luar negeri, khususnya di Saudi. Betapa tidak, di rumah majikan mereka kerap disiksa dan dilecehkan secara seksual. Tidak jarang ada yang sampai hamil, dan melahirkan anak di kampung halaman. ''Ada TKW diperkosa majikannya, kemudian dipaksa melacur di Mekah,'' tutur Salwa dari Solidaritas Perempuan, mengutip pengaduan yang masuk ke lembaga itu pada 2000.

Ketika kabur dari tindasan majikan, mereka disambar teman sebangsa sendiri untuk dijadikan pelacur, dengan harga banting pula. ''Citra Indonesia sudah busuk di sini (Arab). Martabat bangsa telah jatuh ke titik terendah,'' ucap Ustadz Fudoili, yang sangat aktif di Islamic Center Jedah.

Semua itu terjadi lantaran TKW kelihatan bodoh dan penakut. ''Sehingga sama sekali tak punya posisi tawar,'' kata Iva Kusuma dari divisi hukum Solidaritas Perempuan. Maklumlah, TKW yang dikirim kebanyakan orang udik yang tak berpendidikan.

Selain itu, setiba di tujuan, praktis tak ada koordinasi sama sekali dengan PJTKI yang memang tak peduli, atau KBRI. Rekan sebangsa pun tega mematuk mereka. Dalam pandangan Brigjen Aryanto Sutadi, Direktur I Keamanan dan Transnasional Mabes Polri, semua karakter tadi, ditambah sikap suka ''gelap-gelapan'' dari TKW/TKI, membuat kasus itu sulit diberantas.

Itulah sebabnya, jauh sebelum kasus prostitusi ini terkuak lebar, sudah kencang desakan agar pemerintah menyetop pengiriman TKW ke Arab. Toh, program itu jalan terus, demi devisa. Baru setelah sejumlah negara Islam menyetop pengiriman tenaga kerjanya ke Saudi, pemerintah RI menetapkan larangan serupa, Februari 2003.

Tapi, tiga bulan berselang larangan itu dicabut. Habib Rizieq kecewa. ''Seharusnya pengiriman TKW distop total. Harga diri bangsa lebih penting daripada devisa,'' ujarnya. Mudah-mudahan, suatu ketika suara-suara bermartabat semacam itu direspon serius pemerintah.

Taufik Alwie, Sujud Dwi Prastisto, dan Mahrus Ali (Arab Saudi).
[Laporan Utama, GATRA, Nomor 33 Beredar Senin 30 Juni 2003]

0 komentar:

Posting Komentar